Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma'ruf Amin menolak wacana pemisahan agama dan politik. (Foto: VOA/Andylala)
BeritaBengkulu.id - Saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara hari Jumat (24/3), Presiden Joko Widodo meminta masyarakat agar memisahkan agama dari politik, atau politik dari agama.
Menanggapi hal itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin berpendapat justru agama dan politik itu saling menguatkan.
"Agama dan politik itu saling mempengaruhi. Kehidupan politik kebangsaan itu harus mendapat pembenaran dari agama. Mungkin yang dimaksud Presiden itu kalau ada paham-paham yang bertabrakan sehingga menimbulkan masalah. Makanya agama, negara, dan Pancasila itu kan saling menopang, saling menguatkan," ujar Ma'ruf.
Namun demikian, Ma'ruf Amin memastikan, yang perlu dicegah adalah adanya radikalisme agama yang akan mengganti ideologi Pancasila.
"Kalau saya menganggapnya ada yang radikalisme agama. Sehingga akan mengganti Pancasila dengan agama. Itu kan radikalisme. Tidak punya komitmen kebangsaan. Nah, kalau yang radikalisme sekuler itu adalah kelompok sekuler yang mendeligitimasi agama. Tidak bisa (agama dan politik, red.) terpisahkan, karena itu saling menguatkan. Tapi bukan dalam pengertian agama yang radikal. Kalau radikalisme agama itu menjadi sesuatu yang merusak," tambahnya.
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama, Khofifah Indar Parawansa juga menegaskan bahwa antara Pancasila, negara dan agama saling melengkapi.
"Jadi posisi Pancasila, posisi agama, dan posisi negara itu memang harus final di mata seluruh masyarakat di negeri ini. Sehingga antara Pancasila, negara, dan agama tidak pada posisi beririsan. Tetapi pada posisi komplementaritas (saling melengkapi)," tegas Khofifah.
Khofifah Indar Parawansa memastikan bahwa agama justru menjadi ruh dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Kebhinekaan itu harus berujung pada tunggal ika. Dan tunggal ika itu diikat oleh Pancasila. Di dalam sila-sila Pancasila ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka di dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, spiritualitas atau religiusitas itu adalah ruh dari proses berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat," imbuhnya. (VI)

MUI Tolak Wacana Pemisahan Agama dan Politik

Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma'ruf Amin menolak wacana pemisahan agama dan politik. (Foto: VOA/Andylala)
BeritaBengkulu.id - Saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara hari Jumat (24/3), Presiden Joko Widodo meminta masyarakat agar memisahkan agama dari politik, atau politik dari agama.
Menanggapi hal itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin berpendapat justru agama dan politik itu saling menguatkan.
"Agama dan politik itu saling mempengaruhi. Kehidupan politik kebangsaan itu harus mendapat pembenaran dari agama. Mungkin yang dimaksud Presiden itu kalau ada paham-paham yang bertabrakan sehingga menimbulkan masalah. Makanya agama, negara, dan Pancasila itu kan saling menopang, saling menguatkan," ujar Ma'ruf.
Namun demikian, Ma'ruf Amin memastikan, yang perlu dicegah adalah adanya radikalisme agama yang akan mengganti ideologi Pancasila.
"Kalau saya menganggapnya ada yang radikalisme agama. Sehingga akan mengganti Pancasila dengan agama. Itu kan radikalisme. Tidak punya komitmen kebangsaan. Nah, kalau yang radikalisme sekuler itu adalah kelompok sekuler yang mendeligitimasi agama. Tidak bisa (agama dan politik, red.) terpisahkan, karena itu saling menguatkan. Tapi bukan dalam pengertian agama yang radikal. Kalau radikalisme agama itu menjadi sesuatu yang merusak," tambahnya.
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama, Khofifah Indar Parawansa juga menegaskan bahwa antara Pancasila, negara dan agama saling melengkapi.
"Jadi posisi Pancasila, posisi agama, dan posisi negara itu memang harus final di mata seluruh masyarakat di negeri ini. Sehingga antara Pancasila, negara, dan agama tidak pada posisi beririsan. Tetapi pada posisi komplementaritas (saling melengkapi)," tegas Khofifah.
Khofifah Indar Parawansa memastikan bahwa agama justru menjadi ruh dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Kebhinekaan itu harus berujung pada tunggal ika. Dan tunggal ika itu diikat oleh Pancasila. Di dalam sila-sila Pancasila ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka di dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, spiritualitas atau religiusitas itu adalah ruh dari proses berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat," imbuhnya. (VI)