BeritaBengkulu.id - Jaksa penuntut umum menganggap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti melakukan pidana penistaan dan menuntutnya dengan hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.
Dalam berkas tuntutan sebanyak 209 halaman itu, jaksa Ali Mukartono menyatakan Ahok terbukti melanggar pasal 156 KUHP tentang pernyataan permusuhan dan kebencian terhadap terhadap suatu golongan.
Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto kemudian menjadwaklkan sidang berikutnya, Selasa (25/4), dengan agenda pembacaan pembelaan dari pihak Ahok.
Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjalani sidang ke-18 ini sehari setelah kekalahannya di Pilkada Jakarta dari Anies Baswedan.
Jaksa Ali Mukartono menyebut mereka mengajukan tuntutan itu setelah mempertimbangkan sejumlah fakta, dan beberapa hal yang meringankan dan memberatkan terkait terdakwa.
Hal yang memberatkan adalah perbuatan yang didakwakan itu meresahkan masyarakat. Sementara yang meringankan, Ahok sebagai gubernur telah melakukan berbagai program pembangunan yang nyata, dan selama persidangan bersikap sopan.
Pembacaan tuntutan sedianya dilangsungkan Selasa (11/4) pekan lalu namun ditunda karena jaksa belum siap. Awalnya Jaksa menyebut alasan permintaan penundaan itu karena berkas tuntutan mereka 'belum selesai diketik.'
Namun kemudian jaksa Ali Mukartono meminta jadwal penundaan sidang disesuaikan dengan permintaan Kapolda Jakarta M. Iriawan, yakni sesudah penyelenggaraan Pilkada.
Bermula dari Pulau PramukaMomentum bagi penentang Ahok
Peristiwa yang didakwakan pada Ahok adalah pidatonya pada 27 September 2016, saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang lalu dianggap menghina agama.
Ahok saat itu datang untuk meninjau program pemberdayaan budi daya kerapu. Ia mengatakan dalam sambutannya, program itu akan tetap dilanjutkan meski dia nanti tak terpilih lagi menjadi gubernur di Pilkada 2017, sehingga warga tak harus memilihnya hanya semata-mata karena ingin program itu terus dilanjutkan.
"Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak- Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu. Kalau Bapak-Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak-Ibu," katanya.
"Program ini (pemberian modal bagi budi daya kerapu) jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok," tambahnya.
Rekaman video ini diunggah di saluran Pemprov DKI Jakarta, dan tak ada masalah soal ini, hingga pada 6 Oktober, Buni Yani, seorang dosen, mengunggah ulang video itu di akun Facebooknya, berjudul 'Penistaan terhadap Agama?' dengan transkripsi pidato Ahok namun memotong kata 'pakai'.
Ia menuliskan 'karena dibohongi Surat Al Maidah 51' dan bukan "karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51', sebagaimana aslinya.
Tak lama kemudian Front Pembela Islam, FPI, dan Majelis Ulama Indonesia, MUI, Sumatera Selatan melaporkan Ahok kepada polisi.
Sejumlah organisasi lain menyusul melakukan laporan kepada polisi.
Ahok kemudian meminta maaf, namun kasus ini terus berkembang. Pada 14 Oktober 2016, massa berbagai ormas Islam berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta.
Massa menuntut Ahok segera dihukum. Unjuk rasa sempat berlangsung ricuh.
Kasus ini membuat Rizieq Shihab, tokoh FPI, yang selama ini merupakan penentang keras Ahok, mendapatkan momentum.
Ia berhasil menggalang umat dari berbagai kelompok Islam lain dalam aksi 4 November yang dikenal sebagai Aksi 411, yang diikuti ratusan ribu orang.
(BBC)