Berita hoax telah menjadi permasalahan nasional. Presiden Joko Widodo memerintah segenap pihak, terutama insan pers, untuk melawannya. Hal itu disampaikan Jokowi saat hadir dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional di Lapangan Tantui, Ambon, kemarin (9/2).
SAAT ini banyak berita yang berisi kebohongan, caci maki, hoax,” kata Jokowi dalam sambutannya. “Dalam kondisi seperti ini, seharusnya media mainstream, media arus utama, meluruskan yang bengkok-bengkok. Menjernihkan kekeruhan yang terjadi di media sosial,” lanjutnya.
Media sosial, lanjut Jokowi, telah menjadi tren di semua negara. Termasuk Indonesia. Sejawatnya sesama pemimpin negara juga mengungkapkan permasalahan penyebaran berita hoax melalui media sosial.
Tren media sosial dalam banyak kasus, menurut Jokowi, telah mengancam masa depan media mainstream. Ada banyak media arus utama yang mengalami masalah keuangan karena kehilangan audience. “Itu terjadi di banyak negara, saya berharap di Indonesia tidak. Selama media arus utama bisa beradaptasi dengan gempuran media sosial,” paparnya.
Menurut Jokowi, media mainstream harus meningkatkan kualitas untuk bersaing dengan media sosial. Kalau kalah dari segi kecepatan, media mainstream harus unggul dalam akurasi dan kedalaman.
“Kehadiran televisi tidak mematikan radio. Media sosial juga seperti itu, melengkapi keberadaan media mainstream untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi,” ungkapnya.
Ketua Umum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo juga menegaskan, pada era yang semakin menantang seperti ini, media mainstream harus meningkatkan kualitas. Kalau ingin bertahan di tengah serbuan media sosial. Tidak hanya itu, keteguhan pada integritas dan kode etik menjadi kunci kekuatan media arus utama.
“Tanpa hal itu, media mainstream akan kehilangan kepercayaan. Padahal, kepercayaan adalah aset paling utama,” papar Stanley, sapaan Yosep.
Beredarnya berita hoax, menurut dia, harus diperangi media mainstream. Sebab, hal itu sangat merugikan masyarakat. Informasi tidak benar yang simpang siur bisa menimbulkan keresahan di masyarakat. Bahkan, dalam kondisi yang parah, bisa timbul konflik. “Informasi yang aktual harus dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat,” tegasnya.
Untuk meningkatkan kualitas media mainstream, setiap media harus memenuhi standar tertentu. Salah satunya bisa dipenuhi jika media-media tersebut menjalani verifikasi yang dilakukan Dewan Pers. Hal itu mencakup kepatuhan pada kode etik jurnalistik, standar prosedur perlindungan karyawan dan wartawan, serta sistem penggajian yang layak. Jawa Pos adalah salah satu media yang terverifikasi.
“Sampai Senin (6/2), ada 77 media yang terverifikasi. Ini adalah kickoff. Berikutnya kami terus melakukan verifikasi pada media-media yang belum melakukannya,” paparnya.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Margiono menyoroti adanya media yang menjadi milik konglomerat maupun politisi. Hal itu, menurut Margiono, sah-sah saja. Selama tidak ada pelanggaran pada kode etik jurnalistik.
“Tidak ada satu pun UU maupun peraturan yang melarang pemilik media menjadi pimpinan partai politik. Yang dilarang adalah karya jurnalistik melanggar kode etik,” tegasnya. (***)

HPN Jadi Ajang Pemerintah Kendalikan Pers


Berita hoax telah menjadi permasalahan nasional. Presiden Joko Widodo memerintah segenap pihak, terutama insan pers, untuk melawannya. Hal itu disampaikan Jokowi saat hadir dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional di Lapangan Tantui, Ambon, kemarin (9/2).
SAAT ini banyak berita yang berisi kebohongan, caci maki, hoax,” kata Jokowi dalam sambutannya. “Dalam kondisi seperti ini, seharusnya media mainstream, media arus utama, meluruskan yang bengkok-bengkok. Menjernihkan kekeruhan yang terjadi di media sosial,” lanjutnya.
Media sosial, lanjut Jokowi, telah menjadi tren di semua negara. Termasuk Indonesia. Sejawatnya sesama pemimpin negara juga mengungkapkan permasalahan penyebaran berita hoax melalui media sosial.
Tren media sosial dalam banyak kasus, menurut Jokowi, telah mengancam masa depan media mainstream. Ada banyak media arus utama yang mengalami masalah keuangan karena kehilangan audience. “Itu terjadi di banyak negara, saya berharap di Indonesia tidak. Selama media arus utama bisa beradaptasi dengan gempuran media sosial,” paparnya.
Menurut Jokowi, media mainstream harus meningkatkan kualitas untuk bersaing dengan media sosial. Kalau kalah dari segi kecepatan, media mainstream harus unggul dalam akurasi dan kedalaman.
“Kehadiran televisi tidak mematikan radio. Media sosial juga seperti itu, melengkapi keberadaan media mainstream untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi,” ungkapnya.
Ketua Umum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo juga menegaskan, pada era yang semakin menantang seperti ini, media mainstream harus meningkatkan kualitas. Kalau ingin bertahan di tengah serbuan media sosial. Tidak hanya itu, keteguhan pada integritas dan kode etik menjadi kunci kekuatan media arus utama.
“Tanpa hal itu, media mainstream akan kehilangan kepercayaan. Padahal, kepercayaan adalah aset paling utama,” papar Stanley, sapaan Yosep.
Beredarnya berita hoax, menurut dia, harus diperangi media mainstream. Sebab, hal itu sangat merugikan masyarakat. Informasi tidak benar yang simpang siur bisa menimbulkan keresahan di masyarakat. Bahkan, dalam kondisi yang parah, bisa timbul konflik. “Informasi yang aktual harus dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat,” tegasnya.
Untuk meningkatkan kualitas media mainstream, setiap media harus memenuhi standar tertentu. Salah satunya bisa dipenuhi jika media-media tersebut menjalani verifikasi yang dilakukan Dewan Pers. Hal itu mencakup kepatuhan pada kode etik jurnalistik, standar prosedur perlindungan karyawan dan wartawan, serta sistem penggajian yang layak. Jawa Pos adalah salah satu media yang terverifikasi.
“Sampai Senin (6/2), ada 77 media yang terverifikasi. Ini adalah kickoff. Berikutnya kami terus melakukan verifikasi pada media-media yang belum melakukannya,” paparnya.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Margiono menyoroti adanya media yang menjadi milik konglomerat maupun politisi. Hal itu, menurut Margiono, sah-sah saja. Selama tidak ada pelanggaran pada kode etik jurnalistik.
“Tidak ada satu pun UU maupun peraturan yang melarang pemilik media menjadi pimpinan partai politik. Yang dilarang adalah karya jurnalistik melanggar kode etik,” tegasnya. (***)