BENGKULU - Perambahan hutan di Bengkulu semakin menjadi-jadi. Dari 924.631 hektare (Ha) luas hutan di provinsi tersebut, sekitar 14.741 ha mengalami kerusakan karena perambahan.
Perambahan terjadi satu faktornya karena jumlah personel polisi hutan (Polhut) dirasa masih kurang untuk mengawasi hutan di Provinsi Bengkulu.
Plt Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, Ir Agus Priambudi MSc melalui Kepala Bidang Perencanaan, Pemanfaatan Hutan dan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (PPH-KSDAE), Ir Samsu Rizal Yusuf mengatakan, kerusakan hutan seluas 14.741 ha dari 924.631 ha seluruh luas hutan di Provinsi Bengkulu akibat dirambah. Sementara hanya puluhan polhut yang mengawasi (lihat grafis).
“Kerusakan hutan itu terdapat di Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Tetap (HP), dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Lokasinya cukup banyak terdapat di wilayah Bengkulu Tengah, Kaur dan Mukomuko. Mirisnya perambahan dengan ditanam kopi, sawit, dan karet. Dan lebih miris lagi jumlah Polhut yang hanya 87 orang,” ungkap Rizal kepada BE kemarin (7/2).
Ia mengatakan, meskipun secara ekologis sudah mengalami perbaikan, akan tetapi fungsi hutan tidak lagi optimal karena telah mengalami kerusakan. “Fungsinya tidak lagi optimal, karena sebagian telah rusak, butuh proses yang cukup lama untuk memulihkannya kembali,” terangnya.
Dampak kerusakan hutan tersebut akan sangat mempengaruhi kegiatan pembangunan di sektor lainnya, terutama sektor pertanian dan perikanan, karena salah satu fungsi hutan yang paling utama adalah sebagai penyangga, yaitu daerah penyimpan air di musim hujan dan penyuplai air saat kemarau.
“Kalau hutan dirusak pertanian dan perikanan akan mengalami dampak yang signifikan karena hutan itu sebagai penyimpan air di musim hujan,” imbuhnya.
Karena itu, dia mengingatkan, perlunya peran penyuluh kehutanan dalam pemberdayaan masyarakat terutama pelaku utama kehutanan yaitu masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
“Mereka diharapkan dapat berperan aktif dalam perbaikan dan pengelolaan kawasan hutan, sehingga tidak hanya fungsi ekologi dan lingkungan, tetapi juga fungsi ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat tetap berlangsung secara optimal,” jelasnya.
Selain itu, Rizal mengaku faktor yang menyebabkan masih tingginya perusakan hutan, karena fasilitas penunjang minim. Terutama jumlah polisi kehutanan jauh dari harapan. Sehingga menyulitkan untuk melakukan pengawalan.
“Bagaimana mau melakukan pengawalan kalau jumlah personelnya saja kurang,” terangnya.
Saat ini di 10 kabupaten/kota di Bengkulu terdapat hanya 87 polisi kehutanan. Sementara luas wilayah hutan yang harus diawasi mencapai 924.631 ha. Artinya satu orang personel polisi hutan (Polhut) mengawasi 10.628 ha hutan.
“Bayangkan 1 personil Polhut mengawasi daerah yang seluas itu, pasti pengawasannya menjadi kurang dan menyebabkan perambahan besar kemungkinan akan terus terjadi,” katanya.
Padahal menurut Rizal idealnya per 1000 ha diawasi oleh 1 orang petugas Polhut. Bahkan dalam dua bulan kedepan beberapa Polhut akan ada yang pensiun, hal ini akan mengakibatkan makin berkurangnya jumlah Polhut di Provinsi Bengkulu.
“Jumlah personel Polhut sudah sedikit, bahkan dalam dua bulan kedepan beberapa akan ada yang pensiun, kalau sudah seperti itu kita bisa apa, karena tidak ada perekrutan sama sekali,” sesalnya.
Pelaku Harus Ditindak Tegas
Direktur Walhi Bengkulu Beni Ardiansyah mengatakan, bahwa perambahan hutan harus segera ditindaklanjuti karena dapat merusak lingkungan vegetasi hutan itu sendiri selain itu fungsi utama hutan sebagai penampung air dan tempat habitat satwa dapat terganggu.
“Perlu ditindak tegas setiap pelaku yang dengan sengaja merusak hutan,” ujar Beni.
Beni menambahkan, tidak berhak orang atau oknum tertentu menanam tanaman seperti kopi, sawit, ataupun karet di hutan lindung karena melanggar UU Kehutanan nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan jo UU nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
“Membangun kebun sawit, karet, dan kopi di dalam hutan lindung akan dikenakan sanksi hukuman pidana serta pihak yang melakukan penanaman diwajibkan memulihkan kembali hutan lindung tersebut,” tambahnya.
Selain itu, apabila masyarakat ingin menanam kopi, sawit, ataupun karet itu lokasi penanamannya bukan di hutan kindung tetapi di hutan produksi.
“Masyarakat bebas mengelolah hutan, tapi hutan produksi dan harus ada ijin dari Dinas Kehutanan Provinsi, karena kalau tidak memiliki ijin maka sanksi pidana yang akan didapatkan,” tutupnya. (***)